Monday 14 December 2009

Kewarganegaraan: Otonomi Daerah

            A.                ARTI OTONOMI DAERAH
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk (interchangeably). Kedua istilah tersebut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintah tidak dapat dipisahkan. Tak heran misalnya dalam buku-buku referensi, termasuk di buku ini, pembahasan otonomi daerah diulas memakai istilah desentralisasi. Di mana desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi daerah menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
Desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Suatu negara bangsa menganut desentralisasi  bukan karena alternatif dari sentralisasi. Karenanya, suatu negara merupakan payung desentrlisasi dan sentralisasi.
Otonomi daerah dalam arti sempit dapat diartikan sebagai ‘mandiri’. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya’. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Desentralisasi sebagaimana didefinisikan United Nations (PBB) adalah sebagai berikut:
“Decentralization refers to the transfer of authority away from the national capital whether by deconcentrtion (i.e delegation) to field officer or by devolution to local authorities or local bodies.”
Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Proses itu melalui dua cara yaitu dengan delegasi pejabat-pejabat di daerah (deconcentration) atau dengan devolution kepada badan-badan otonom daerah.
M. Turner dan D. Hulme (dalam Teguh Yuwono, ed., 2001, h. 27) berpandangan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang mendasari transfer ini adalah teritorial dan fungsional. Teritorial yang dimaksud adalah menempatkan kewenangan kepada level pemerintahan yang lebih rendah dalam wilayah hirarkis yang secara geografis lebih dekat kepada penyedia layanan dan yang dilayani. Fungsional artinya transfer kewenangan kepada agen yang secara fungsional terspesialisasi.
Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan, manajemen, dan alokasi sumber-sumber dari  pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementerian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah, dan organisasi nirlaba (Teguh Yuwono, ed., 2001, h. 28).

B.                 ARTI PENTING OTONOMI DAERAH-DESENTRALISASI

Desentrlisasi dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan, pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintah, dan pembangunan kehidupan berpolitik efektif. Sebab desentralisasi menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat. Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat berpusat di Jakarta. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan tidak merata. Ketiga, Kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik maupun empirik. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebuut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik ataupun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi (Syaukani, et.al., 2002, h. 20-30), yaitu:
1.      Untuk terciptanya efesiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
2.      Sebagai sarana pendidikan politik.
3.      Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4.      Stabilitas politik
5.      Kesetaraan politik (political equality).
6.      Akuntabilitas publik.

C.                VISI OTONOMI DAERAH

Visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: politik, ekonomi, serta sosial dan budaya (Syaukani, et.al., 2002, h. 172-176). Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, merangkum hal-hal berikut ini:
1.      Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
2.      Penguatan peranan DPRD sebagai represntasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah.
3.      Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas tinggi dengan tingkat akseptabililtas yang tinggi pula.
4.      Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif.
5.      Peningkatan efesiensi administrasi keuangan daerah.
6.      Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah, dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.

D.                MODEL DESENTRALISASI

Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu (1) dekonsentrasi, (2) delegasi, (3) devolusi, dan (4) privatisasi. (Teguh Yuwono, ed., h. 29-33).

1.      Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat di lapangan tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan membuat keputusan.

2.      Delegasi
Delegasi ialah pelimpahan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintahan pusat.

3.      Devolusi
Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif, yang merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentrasfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada unit otonomi pemerinyah daerah. Dalam pandangan Rondinelli, devolusi merupakan upaya untuk memperkuat pemerintah daerah secara legal yang secara substnsif kegiatan-kegiatan yang dilakukannya di luar kendali langsung pemerintah pusat.
Menurut Mawhood sebagaimana dikutip oleh Turner dan Hulme ada lima ciri yang melekat pada devolusi, yaitu:
a)      Adanya sebuah badan lokal yang secara konstitusional terpisah dari pemerintah pusat dan bertanggung jawab pada pelayanan lokal yang signifikan.
b)      Pemerintah daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran, dan rekening seiring dengan otoritas untuk meningkatkan pendapatannya.
c)      Harus mengembangakan kompetensi staf.
d)     Anggota dewan yang terpilih, yang beroperasi pada garis partai, harus menentukan kebijakan dan prosedur internal.
e)      Pejabat pemerintah pusat  harus melayani sebagai penasehat dan evaluator luar (external advisors & evaluators) yang tidak memiliki peranan apapun di dalam otioritas lokal.

4.      Privatisasi
Privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta.

E.                 PRINSIP-PRINSIP OTONOMI DAERAH DALAM UU No. 22 TAHUN 1999

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 tahun 1999 adalah (Nur Rif’ah Masykur, peny., 2001, h. 21):
1.      Demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi, dan keanekaragaman daerah.
2.      Otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
3.      Otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kota dan daerah kabupaten.
4.      Sesuai dengan konstitusi negara.
5.      Kemandirian daerah otonom.
6.      Meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
7.      Asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi sebagai wilayah administrasi.
8.      Asas tugas pembantuan.

F.                 PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DALAM UU No. 22 TAHUN 1999

1.      Kewenangan pemerintah pusat dalam UU No. 22 tahun 1999
Hubungan luar negeri, pertahanan, dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik negara, dan pengembangan SDM.

2.      Kewenangan propinsi sebagai daerah administratif dalam UU No. 22 tahun 1999
a)      Kewenangan bersifat lintas kabupaten dan kota.
b)      Kewenangan pemerintah lainnya, seperti perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro.
c)      Kewenangan kelautan.
d)     Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani oleh kabupaten dan kota.

3.      Kewenangan pemerintah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom
a)      Pertanahan,
b)      Pertanian,
c)      Pendidikan dan kebudayaan,
d)     Tenaga kerja,
e)      Kesehatan,
f)       Lingkungan hidup,
g)      Pekerjaan umum,
h)      Perhubungan,
i)        Perdagangan dan industri,
j)        Penanaman modal, dan
k)      Koperasi.

G.                OTONOMI DAERAH DAN DEMOKRATISASI

Keterkaitan otonomi daerah dengan demokratisasi pernah diungkapkan oleh Muhammad Hatta, proklamator RI dalam suatu kesempatan,
...memberikan otonomi daerah tidak saja berarti meleksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-aktiviteit. Auto-aktiviteit berarti bertindak sendiri, meleksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri.

No comments:

Post a Comment